ASHL DAN FAR’ : QIYAS BAYANI DAN PERMASALAHAN TA’LIL

 

 

A.    Pendahuluan

Pola pikir bayani[1] sejak dari dulu lebih mendahulukan dan mengutamakan qiyas, bukannya mantiq lewat sillogisme dan premis – premis logika. Epistemologi tekstual – lughowiyah (al-ashl wa al-Far’ : al-lafz wa al-ma’na) lebih diutamakan dari pada epistemologi kontekstual – bahtsiyyah maupun spiritual irfaniyyah - bathiniyyah[2].

Qiyas menempati posisi penting dalam pemikiran bayani. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemikiran bayani adalah bayani menempati Qiyas[3]. Sebagaimana ilmu Bayaniyyah Istidlaliyyah seperti nahwu, fiqih dan kalam merupakan istidlalilyyah bagi metode qiyas.

Oleh karena itu dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan tentang ma’na qiyas menurut ahli fiqih, nahwu dan kalam. Bagaimana pendapat dan aplikasi mereka terhadap qiyas.

 

B.    Qiyas Bayani dan Permasalahan Ta’lil

Secara historis, aktifitas bayani telah dimulai sejak masa – masa Islam yang sangat dini. Tetapi pada masa permulaan ini belum merupakan upaya ilmiah dalam arti identifikasi keilmuan dan peletakan aturan penafsiran teks – teksnya, melainkan baru sekedar upaya penyebaran tradisioanl bayani saja. Pada tahap selanjutnya mulai muncul usaha meletakkan aturan penafsiran wacana (al-Khitab) bayani . Upaya inipun, hanya terbatas pada kecenderungan untuk mengungkap karakteristik ekspresi bayani dalam Al-Qur’an atau bahasa Arab umumnya dari perspektif kebahasaan atau gramatikalnya. Beberapa tokoh yang terlibat dalam kegiatan ini antara lain Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H)[4], Abi zakariya Yahya bin Ziyad al-Farra (w. 207 H)[5], Abu Ubaidah Muammar bin Mtsanna (w. 215 H)[6] dan sebagainya[7].

Pada tahap selanjutnya, Muhammad bin Idris al-Imam al-Syafi’I (w. 204 H) merupakan orang yang sangat berjasa dalam membuat aturan – aturan penafsiran wacana bayani. As-Syafi’I merupakan peletak dasar aturan epistem bayani[8]. Ini dapat dilihat dari kajiannya yang sangat intens terhadap wacana Al-Qur'an dalm perspektif fiqhiyyah. Menurutnya al-bayani merupakan nama untuk keseluruhan makna yang mempunyai prinsip – prinsip yang sama (al-ushul) tetapi berbeda – beda cabangnya (al-furu’)[9]. Dengan demikian dalam al-bayan terdapat dua dimensi yang sangat fundamental yaitu al-ushul (prinsip – prinsip primer) yang dari sana lalu muncul prinsip – prinsip sekunder (al-furu’).

Beralih dari al-Bayan penulis mencoba menyoroti tentang qiyas. Imam Syafi’i, pendiri ilmu fiqih, bukanlah pencipta awal metodologi qiyas. Ia memperolehnya dari para pakar nahwu yang mendahuluinya mempergunakan secara sadar metodologi tersebut. Artinya mereka menggunakannya sebagai satu metode tertentu untuk menghasilkan dan menggeneralisasi hukum – hukum dan aturan[10].

Metode ini pertama – tama diperkenalkan oleh al-Khalil ibn Ahmad al-Faharidi (w. 170 H) lalu dilanjutkan oleh muridnya Sibawaih (w. 180 H). Kita tahu, Imam Syafi’I hidup pada masa sesudah mereka, dan ia menulis al-Risalah tentang ushul fiqh pada tahun 198 H da wafat pada tahun 204 H. As-syafi’I menamai kitabnya itu al-Kitab, serupa dengan nama yang diberikan Sibawaih pada karangannya yang sangat terkenal dalam bidang gramatika bahasa Arab, yaitu al-Kitab. Dengan cara ini, seakan – akan Imam Syafi’I hendak merintis bidang nahwu. Maka iapun mengikuti metodologi dan perangkat – perangkat epistemologis yang digunakan kalangan nuhah. Bahkan dikabarkan ia sempat bergaul di tengah – tengah mereka dalam tempo yang cukup lama untuk ikut serta dan terlibat dalam diskusi – diskusi dan polemik mereka. Satu bukti yang menunjukkan hal ini adalah bab pertama yang diberikan Imam Syafi’I dalam karya ushul fiqhnya itu dengan judul :Kaif al-bayan?. Bahkan keseluruhan karya tersebut hampir identik dengan upaya mengkaji teknik – teknik dan metode yang harus dipatuhi dalam memahami teks –teks agama, artinya bagaimana menimba hukum – hukum fiqih didalamnya[11].

Sementara dalam disiplin ilmu kalam, selama pada masa – masa awal pertumbuhannya, merupakan ilmu bahasa yang “murni”. Artinya, sebagai disiplin berkalam dalam memahami teks – teks agama. Proyek harmonisasi antara akal dan naqal tidak akan berlangsung secara efektif tanpa kehadiran teks – teks agama. Maka dari sini kemudian timbullah pengaruh kuat gramatika Arab dan kajian – kajian tentang balaghah secara umum, terhadap metodologi kalangan mutakallimun, khususnya metode yang dipakai di kalangan generasi awal mereka. Metode Istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib (menganalogikan dunia riil dengan dunia transenden), sebagaimana yang berlaku dalam ilmu kalam, sama dengan metode kaum fuqoha dan nuhah yang berintikan qiyas al-ghaib ‘ala al-syahid ( menganalogikan hal – hal yang belum ada hukumnya dengan yang sudah ditetapkan status hukumnya).

Secara bahasa qiyas berarti ukuran, persamaan, atau persesuaian seimbang menurut aturan, analogi[12] membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain, misalnya “saya mengukur baju dengan hasta”[13].

Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih[14]. Sekalipun redaksinya beebeda tetapi mengandung pengertian yang sama. Diantaranya dikemukakan oleh Sadr al-Syari’ah (w. 747 H / 1346 M, tokoh ushul fiqh Hanafi)[15] menurutnya qiyas adalah

 

 

“Memberlakukan hukum ashl kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja”

 

 Maksudnya illat yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan illat ini maka hukum dari kasus yang sedang dihadapi di samakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.

Mayoritas ulama Syafiiyyah[16] mendefinisikan qiyas dengan :

 

 

 

“Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.”

 

Syaifuddin al-Amidi mendefinisikan qiyas[17] dengan :

 

 

“mempersamakan illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal yang di istainbatkan dari huku asal.”

 

Sedangkan Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas[18] dengan :

 

 

“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat hukum antara keduanya.”

 

Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal, melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illatnya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapai itu adalah hukum yang ditentukan nash tersebut.

Misalnya seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamar. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah 5: 90-91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamar. Karena illat keduanya adalah sama, yakni memabukkan. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nashnya dengan hukum yang ada nashnya dalam Al-Qur'an atau hadits, menyebabkan adanya kesatuan hukum. Inilah yang dimaksud qiyas menurut ulama ushul fiqh.

An-Nuhah (ahli gramatika bahasa Arab) memaknai qiyas dengan bentuk yang lebih umum dari apa yang dilakukan fuqoha, karena mayoritas An-Nuhah mengaitkan nahwu dengan qiyas secara umum[19], dan qiyas itu sendiri menurut an-nuhah sebagaimana menurut fuqoha adalah

Di sisi lain, qiyas dalam nahwu sebagaimana qiyas dalam fiqih, bukan berarti memulai hukum (baru), tetapi hanya menjalankan hukum ashl pada furu’. Oleh karena itu hukum – hukum nahwu tidak dengan jalan memulai, tetapi dengan cara mengikuti[20].

Sedangka ahli mantiq dan filsafat menggunakan kata qiyas sebagai terjemah syllogisme yang didefinisikan Aristo dengan : “ucapan yang dibuat yang mewajibkan ucapan lain dengan menyatakan dzatnya (esensinya) bukan dengan membalik”. Contoh : setiap manusia adalah rusak, dan Saqrath adalah manusia, maka Saqrath akan rusak[21].

Menurut al-Ghazali dalam al-mustasyfa, qiyas membutuhkan 2 perkara, yang satu dengan yang disandarkan karena ada persamaan sehingga qiyas dalam ilmu Bayan (Qiyas Bayani) berbeda dengan qiyas mantiq Aristo – bukan mengeluarkan konklusi yang menyebabkan pentingnya dua kata pendahulunya, tetapi menyandarkan satu perkara dengan perkara yang lain karena ada unsur persamaan[22].

Menurut Abu Hasyim al-Juba’i, qiyas adalah memasukkan sesuatu dan memberlakukan hukumnya pada sesuatu yang lain. Abu al-Husaen al-Bashri menambahkan : apabila dalam memberlakukan hukum itu karena ada unsur keserupaan maka sah. Jika tidak ada kesamaan diantara keduanya, maka berarti memulai. Karena itulah Qadli Abdul Jabbar mengatakan bahwa qiyas adalah meghasilkan hukum ashl dalam far’, karena keduanya serupa dari segi illat hukumnya, menurut mujtahid. Dan keserupaan antara ashl dan far’ dalam qiyas kembali pada persepsi mujathid, bukan pada perkara itu sendiri[23].

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa qiyas dalam epistemologi umum (dalam ilmu kalam, fiqih dan nahwu) cenderung tidak ada perbedaan, yakni

Seorang mutakallimun sebagaimana seorang faqih dan ahli nahwu, tidak membuat hukum (baru) tetapi hanya memindah hukum ashl yang disebut al-Syahid pada Far’ yang disebut al-ghaib. Hanya saja para mutakallimun mensyaratkan illat – illat yang ada harus diketahui (           ) tidak bersifat dzanni. Karena illat itu adalah illat – illat aqliyyah, mereka tidak menyebut “yaqin” untuk menarik dalalah, tetapi cukup dengan ucapan illat harus               .

Para mutakallimun membedakan status epistemologi bagi manhajnya. Kalau fuqoha dan al-nuhat menamakan manhajnya dengan qiyas, sedangkan mutakallimun menamakannya dengan istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib. Di satu sisi karena persepsi mereka tentang syahid dan ghaib berbeda. Syahid menurut mutakallimun adalah semisal alam manusia dan wataknya, dan ghaib adalah alam Ketuhanan. Maka tidak patut apabila menggunakan kalimah ashl untuk menunjukkan alam pertama dan far’ untuk menunjukkan alam kedua. Menurut fuqoha dan al-nuhah ashl lebih mulia dari pada far’ karena ashl adalah nash, sedangkan menurut mutakallimun ghaib yang menempati tempatnya far’ lebih mulai dari syahid yang menempati tempatnya ashl[24].

Sedangkan di sisi lain mutakallimun menghindari kata qiyas dan menggantinya dengan istidlal karena ada dua hal. Pertama, bersifat ad-dini (agama), kedua, bersifat epistemologis. Dari sisi agama, mutakallimun menjauhi penggunaan kata qiyas karena menyebabkan adanya keserupaan atau tasybih. Ketika al-ghaib adalah Allah dan al-syahid adalah manusia, maka terdapat penyerupaan Allah terhadap manusia. Padahal tujuan terpenting dari ilmu kalam adalah membersihkan Allah dari segala bentuk keserupaan pada setiap mahluk. Adapun dari segi epistemologi, para mutakallimun menamakan manhaj mereka dengan istidlal, karena mereka berangkat dari dalil di dalamnya. Sedangkan dalil menurut mereka adalah mursyid yakni sesuatu yang menunjukkan pada pengetahuan ghaib dari sesuatu yang terlihat secara empiris, dan tidak diketahui dengan pasti. Dimana dalil tersebut ada sesuatu yang diketahui dari tanda – tanda yang memungkinkan sampai pada pengetahuan terhadap sesuatu yang tidak jelas [25].

Qiyas bayani[26] mempunyai 4 unsur yaitu : ashl, far’, hukum dan illat. Dalam Bunyah al-aql al-arabi nya, al-Jabiri menjelaskan bahwa apabila terlihat dengan mempertimbangkan hak masing – masing dari ashl dan far’ bagi hukum, maka qiyas dibagi menjadi 3 :

1.     Far’ lebih utama hukumnya daripada ashl. Qiyas ini disebut qiyas aula atau qiyas jali. Seperti mengqiyaskan menyakiti kedua orang tua dengan membentak atau memukulnya. Hukum asalnya adalah tidak boleh membentak  dengan        yang ada dasar nashnya. Sedangkan far’nya adalah membentak atau memukul yang tidak ada nashnya, yang lebih tinggi (nilai larangannya) dari pada ashl (      ).

2.     Far’ dan ashl berada pada satu tingkatan yang sama dalam hukum. Qiyas ini disebut qiyas fi ma’na al-nash. Seperti keumuman haramnya makan harta anak yatim.

3.     Far’ tidak lebih utama hukumnya dari pada ashl dan juga tidak sama atau sebaliknya. Adanya hukum ashl dalam far’ didasarkan pada persepsi mujtahid, karena illat hukum yang ada dalam ashl tidak disebutkan, mujtahid berusaha mengeluarkannya dan kemudian membahas wujudnya dalam far’. Qiyas ini disebut qiyas khafi.

Apabila qiyas dilihat dari segi bangunan hukum karena menyebutkan illat, terbagi menjad dua :

1.     Qiyas illat yaitu menghasilkan hukum ashl dalam far’ setelah mengeluarkan illat hukum dalam ashl, mengukuhkan aksistensinya dalam far’.

2.     Qiyas dalalah yaitu menghasilkan hukum ashl dalam far;’ yang tidak bersandar pada illat hukum, tetapi pada sesuatu yang menunjukkan keduanya dalam dua hal tersebut.

Lebih lanjut al-Jabiri menjelaskan bahwa bagian – bagian qiyas dalam nahwu antara lain :

1.     Qiyas yang menyamai dengan qiyas fi ma’na al-nash (menurut fuqoha). Qiyas ini berada pada keumuman hukum ashl atas far’. Qiyas ini adalah elemen penanganan gramatika arab yang dapat dikatakan sebagai penyandaran dalam kalam. Jenis qiyas ini berarti membawa sebagian kalam arab pada sebagian yang lain. Seperti yang dikatakan oleh Ibn al- anbari : qiyas adalah membawa kalam yang tidak di nukil pada kalam yang dinukil apabila dalam satu ma’na. Seperti rafa’nya fa’il dan nashabnya maf’ul pada setiap tempat.

2.     Qiyas illat yakni far’ dimasukkan / diserupakan ke ashl dengan illat yang dihubungkan hukum dalam ashl atas illat tersebut seperti isim yang tidak disebut fa’ilnya (naibul fa’il) di qiyaskan dengan fi’il disebabkan dengan illat isnad[27].

3.     Qiyas syibh, ulama nahwu berbeda pendapat tentang qiyas ini. Ibn al-anbari tidak memberi pengertian yang jelas, hanya mengatakan : ketahuilah bahwa qiyas syibh adalah menyerupakan far’ dengan ashl karena ada keserupaan, bukan illat yang dihubungkan hukum dalam ashl, seperti menunjukkan I’rab fi’il mudlori’ yang bersifat khusus setelah keumumannya. Dan juga sebagaimana isim menjadi khusus setelah keumumannya, seperti lafadz            à zaman hal + istiqbal tapi setelah kemasukan        à menjadi khusus istiqbal seperti lafadz               masih bersifat umum untuk semua orang, tapi setelah ada         nya =                 à sudah tertentu pada satu orang.

4.     Qiyas thard, Ibn al- anbari berkata : ketahuilah bahwa thard (mengikuti) adalah sesuatu yang ditemukan hukumnya dan hilangnya celaan dalam illat. An-nuhah berbeda pendapat tentang kehujjahannya. Ada yang mengatakan tidak dapat dijadikan hujjah, karena hanya mengikuti, tidak menyebabkan persangkaan, seperti kata           , tidak bertanwin karena mengikuti bina’nya fi’il yang tidak bertanwin (                      ). Kalalu kata ghairu munshonif seperti              ,             dibuat illat dengan tidak adanya tanwin maka i’rabnya mengikuti pada setiap isim ghairu munshonif.

 

Sedangkan bentuk –bentuk istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib ada 4 :

1.     Istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib karena persamaan keduanya dalam dalalah yakni qiyas dalalah itu sendiri dalam fiqih. Contohnya dalam ilmu kalam adalah istidlal bahwa Allah adalah kuasa. Dengan ucapan bahwa ketika syahid (alam manusia) ditetapkan bahwa terjadinya perbuatan merupakan dalil adanya Allah adalah mampu, maka wajib menghukumi bahwa al-ghaib (Allah) adalah mampu karena ada perbuatan – perbuatan dariNya. Dengan kata lain istidlal terjadi dengan ma’lum (sesuatu yang diketahui) pada illat yang ada pada syahid. Kemudian hukum itu dipindah pada ghaib karena adanya ma’lul didalamnya.

2.     Istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib karena keserupaan keduanya dalam illat yaitu qiyas illat itu sendiri dalam fiqih dan nahwu. Contoh : Allah tidak boleh berbuat kejelekan. Karena Allah mengetahui dan tidak membutuhkannya. Dan jika dikembalikan pada syahid maka illatnya adalah yang berbuat jelek bukanlah Allah, atau dengan kata lain seseorang tidak berbuat jahat karena ada illat yaitu pengetahuannya tentang kejahatan itu dan tidak butuh pada perbuatan tersebut.

3.     Istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib karena keserupaan keduanya terhadap sesuatu yang berjalan di jalannya illat. Bentuk istidlal ini tidak seperti dua istidlal diatas, karena ia tidak berdasarkan atas keserupaan dalam dalalah maupun illat. Artinya : bahwa didalam syahid (alam manusia), seseorang dari kita adalah orang yang menghendaki (             ), dan orang yang menghendaki berarti melakukan sesuatu. Sedangkan dalam ghaib (Allah), kita tahu bahwa Allah pun berbuat yang berarti Allah bersifat                   .                     . (menghendaki). Dengan melihat secara empiris berarti orang yang berbuat atau melakukan sesuatu disifati sebagai “muridan”.

4.     Istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib karena adanya hukum dalam ghaib itu lebih sempurna daripada hukum dalam syahid. Istidlal ini seperti qiyas aula, menurut fuqoha. Misalnya, apabila menolak bahaya dengan persangkaan dianggap baik, maka yang lebih utama adalah diketahui dengan sesungguhnya bahaya tersebut. Apabila menyediakan makanan untuk seseorang yang kita anggap lapar adalah perbuatan baik, maka amalan ini akan lebih utama apabila kita tahu dengan sesungguhnya bahwa orang itu betul – betul lapar[28].

 

C.   Kehujjahan Qiyas

Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan qiyas dalam penetapan hukum syara’. Jumhur ulama’ ushul fiqh berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistimbathkan hukum syara’[29]. Bahkan lebih dari itu syari’ menuntut pengamalan qiyas.

Wahbah al-Zuhaili dalam ushul Fiqhnya menyimpulkan bahwa pendapat ulama’ ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas dipilah dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menrima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama’ ushul fiqh, dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama syi’ah, al-nazam, zahiriyyah dan ulama mu’tazilah dari Irak.

Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’enurut kelompok yang ,menolaknya adalah :

v    Firman Allah dalam surat al-Hujurat 49 : 1

 

 

“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya …”

 

Ayat ini menurut mereka, melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam aAl-Qur'andan Sunnah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, karena itu dilarang.

v    Dalam surat al-Isra 17 : 36

 

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya “

Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui dengan pasti, dan qiyas tergolong ke dalam sesuatu yang tidak pasti.

v    Dalam surat Yunus 10 : 36

 

“Sesungguhnya persangkaan (al-zhann) itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”

 

Menurut mereka qiyas itu bersifat zhann (persangkaan) dan karenanya tidak berguna untuk menetapkan hukum.

Jumhur ulama ushul fiqh yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam menetapkan hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan, baik dari ayat – ayat Al-Qur'an, Sunnah rasul, maupun dari ijma’ dan logika. Alasan – alasan itu diantaranya adalah :

1.     Ayat yang mereka jadikan alasan adalah firman Allah dalam surat al-Hasyr, 59:2

 

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang mempunyai pandangan”.

 

Ayat ini menurut jumhur ushul fiqh, berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadir disebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah saw. Di akhir ayat, allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari satu peristiwa, menurut jumhur ulama, termasuk qiyas yang disebut Allah dengan al-i’tibar adalah boleh, bahkan Al-Qur'an memerintahkannya.

Ayat lain yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut. Misalnya :

a.     Surat al-Baqarah, 2:179 :

 

Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu…

b.     Surat al-baqarah, 2:222 :

 

 

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.

c.     Dalam mengharamkan khamar, Allah berfirman dalam surat al-Maidah, 5:91 :

 

 

 

Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).

d.     Firman Allah daam surat al-Maidah 5:6 :

 

 

…Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu…

 

Seluruh ayat itu, menurut jumhur ulama, secara nyata menyebutkan illat yang menjadi penyebab munculnya hukum. Inilah makna qiyas yaitu ketika muncul suatu kasus yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, maka diwajibkan mencari illat kasus tersebut untuk membandingkannya dengan illat hukum yang ada dalam nash, dan apabila ternyata illatnya sama, maka hukum yang ada dalam nash itu bisa diterapkan pada kasus tersebut.

Para ulama membolehkan qiyas sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syara’, bukan berarti membuat hukum baru yang ditetapkan berdasarkan qiyas itu tetapi menyingkap illat yang ada pada kasus dan menyamakannya dengan illat yang terdapat dalam nash. Atas dasar kesamaan illat ini, hukum kasus yang dihadapi tersebut disamakan hukum yang telah ditentukan oleh nash.

2.     Alasan jumhur ulama dari hadits Rasulullah saw diantaranya adalah riwayat dari Mu’az ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu Rasulullah saw mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadhi (hakim). Rasulullah saw melakukan dialog singkat dengan Mu’az, seraya bersabda :

“Bagaimana cara kamu memutuskan suatu perkara yang diajukan kepada engkau ?”. Mu’az ibn Jabal menjawab, “saya akan cari hukumnya dalam kitabullah (Al-Qur'an). “Kemudian Rasulullah melanjutkan pertanyaannya, “Jika tidak kamu temukan hukumnya dalam kitabullah ?, “jawab Mu’az, “saya akan cari dalam sunnah rasulullah.”Selanjutnya Rasulullah bertanya, “Jika dalam Sunnah Rasulullah saw juga tidak engkau temukan hukumnya ?”, Jawab Mu’az, “saya akan berijtihad sesuai dengan pendapat saya. “Lalu Rasulullah saw mengusap dada Mu’az seraya berkata, “Alhamdulillah tindakan utusan Rasulullah telah sesuai dengan kehendak Rasulullah.” (H.R. Ahmad ibn Hanbal, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Thabrani, al-Darimi dan al-Baihaqi)

 

Dalam hadits ini menurut jumhur ulama ushul fiqh, rasulullah saw mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal.

3.     Alasan lain yang dikemukakan jumhur ulama ushul fiqh adalah ijma’ para sahabat. Dalam praktiknya para sahabat menggunakan qiyas, seperti pendapat Abu bakar tentang masalah kalalah, yang menurutnya adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan anak laki – laki. Pendapat ini dikemukakan Abu Bakar berdasarkan pendapat akalnya, dan qiyas termasuk pendapat akal. Dalam sebuah kisah yang amat populer, Umar ibn al-Khathab menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari[30], ketika ia ditunjuk menjadi hakim di Bashrah Irak. Dalam suratnya yang panjang itu, Umar menekankan agar dalam menghadapi berbagai persoalan yang tidak ditemukan hukumnya dalam nash, agar Abu Musa menggunakan qiyas (kisah ini diriwayatkan oleh al-baihaqi, Ahmad ibn Hanbal, dan al-Daruquthni).

Menurut jumhur ushul fiqh, baik terhadap pendapat Abu Bakar maupun terhadap sikap Umar ibn al-Khatab diatas, tidak satu orang sahabatpun yang membantahnya.

4.     Secara logika, menurut jumhur ushul fiqh, bahwa hukum Allah mengandung kemaslahatan untuk umat manusia dan untuk itulah maka hukum disyari’atkan. Apabila seorang mujtahid menjumpai kemaslahatan yang menjadi illat dalam suatu hukum yang ditentukan oleh nash dan terdapat juga dalam kasus yang sedang ia carikan hukumnya, maka ia menyamakan hukum kasus yang ia hadapi dengan hukum yang ada pada nash tersebut. Dasarnya adalah ada kesamaan illat antara keduanya.

 

D.   Kesimpulan

¨     Antara ashl, far’ dan illat  atau antara lafadz, ma’na dan qorinah terdapat hubungan yang erat, yaitu ketika mujtahid mengeluarkan hukum dari lafadz maka ia menghubungkan lafadz dengan ma’na tertentu yang disandarkan pada qorinah. Demikian juga ketika mujtahid menghubungkan far’ dengan ashl untuk menghasilkan hukum, maka ia pun menyandarkannya dengan illat atau dalil yang ditemukan dalam ashl.


DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, M. amin, “Al-Ta’wil al-Ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci dalam Al-Jami’ah, vol. 39, number 2 , Desember 2001

Al-Jabiri, Muhammad Abed, Bunyah al-Aql al-arabi, Dirasah Tahliliyyah Naqdiyah li Nuzhum al-Ma’rifah Fi al-Tsaqafah al-Arabiyah,Beirut : Markaz al-Tsaqafiy al Arabiy, 1993

________, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta : LKIS, 2000

Al-Farra’, Abu Zakariya Yahya bin Ziyad, Ma’ani Al-Qur'an tahqiq Ahmad Yusuf al-najaty, al-Qahirah : Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1955 – 1973

Al-Ghazali, abu Hamid, Al-Mustasyfa Fi ilm al-Ushul, Beirut, Dar-alKutub al-Ilmiyyah

Al-Mutsanna, Abu Ubaidillah Muammar bin, Majaz Al-Qur'an , Al-Qahirah : Maktabah al-Khajiy, 1954

Al-Munawwir, ahmad warson, Kamus al-Munawwir, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997

Al-Syaukani, Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad, Nail al- Author, Beirut : Dar al-Fikr, 1978

Al-Syari’ah,  Sadr, Tanqih al-Ushul, Makkah : maktabah al-baz, t.t.

Al-Subkhi, Tajuddin Abdul Wahab, Jami’ual Jawami’, Beirut, dar al-Fikr, 1974

Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut, Dar al-Fikr, 1986

Aunurrofiq, DR. MA, Madzhab Yogya,Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogya, Ar-Ruzz, 2002



[1] Dalam bukunya Bunyah al-aql al-araby, al-Jabiri menjelaskan pengertian bayan menurut arti estimologinya dengan mengacu pada kamus bahasa Arab, lisan al- arab karya Ibn al-Manzur. Al-Bayan secara epistemologi mengandung 4 pengertian yait pembeda, berbeda, jelas dan penjelasan. Epistemologi bayani didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis dan memproduksi pengetahuan secara analogis pula dengan menyandarkan yang tidak diketahui kepada yang diketahui, yang tidak tampak kepada yang tampak dan menyandarkan yang baru pada model masa lalu.

[2] Muhammad ‘Abed al- Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi : Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma’rifah Fi al-Tsaqafah al- arabiyah, (Beirut : Markaz al-Tsaqafy al-araby, 1993), hlm. 137

[3] Lihat Amin Abullah, Al-Ta’wil al-Ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci, dalam Al-Jamirah, vol. 39 number 2 Juli – Desember 2001, hlm. 374.

[4] Muqatil bin Sulaiman, al-asybah wa al-nadhair fi Al-Qur'an al-Karim, Tahqiq ‘abd Allah mahmud Syahatah (al-qahirah: al-haiah al-mishriyyah al-Ammah li al-Kitab, 1975).

[5] Abu Zakariya Yahya bin Ziyad al-Farra, Ma’ani Al-Qur'an , tahqiq Ahmad Yusuf al-najatly (al-Qahirah : Dar-al-Kutub al-Mishriyyah, 1973).

[6] Abu Ubaidah Muammar bin al-Mutsanna, Majaz Al-Qur'an, (al-Qahirah : Maktabuh al-Khanjiy, 1954)

[7] Lihat Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah …, op.cit., hlm. 21

[8] Al-Jabiri menempatkan tokoh pendiri madzhab Syafi’I ini sebagai perumus “nalar Islam” atau “nalar Arab”. Soalnya ditangannya al-Syafi’ilah hukum – hukum bahasa Arab dijadikan acuan untuk menfasirkan teks – teks suci, terutama hukum qiyas. Bahkan yang terakhir ini dijadikan salah satu dari empat sumber penalaran yang absah (Al-Qur'an, hadits, ijma’ dan qiyas) untuk memaknai persoalan – persoalan agama dan kemasyarakatan. Akibatnya kalau dalam kodifikasi bahasa Arab yang dijadikan acuan adalah model bahasa Arab Badui, maka dalam konteks “empat ushul” al-Syafi’I ini, yang dijadikan acuan utama adalah nash atau teks suci. Maka berpikir atau bernalar berarti berpikir dalam kerangka nash. Dan qiyas atau analogi, yang mempertautkan asal dengan suatu kasus baru (far’), merupakan satu – satunya metode penalaran yang valid untuk itu (lihat Ahmad Baso, Post Modernisme sebagai kritik nalar islam : Kontribusi metodologis “Kritik nalar” Muhammad Abed al-Jabiri dalam  Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme islam, Yogyakarta : LKIS, 2000), hlm. Xii.

[9] Muhammad Abed al-jabiri, Bunyah …, op.cit, hlm. 21

[10] Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad baso (Yogyakarta, LKIS, 2000), hlm. 88.

[11] Ibid.

[12] Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1178.

[13] Muhammad ibn Ali ibn Muhammad As-Syaukani, Nail Al-Author (Beirut : Dar – al-Fikr, 1978), hlm. 173 : dan Syaifuddin Al-Amidi, al-ihkam fi ushul al-ahkam (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), hlm 2

[14] Ushul Fiqh, sebagai salah satu produk aktifitas intelektual para pakar fiqih dengan sendirinya mengandung berbagai pandangan yang bisa berbeda bahkan bertolak belakang sesuai dengan latar belakang masing – masing tokoh, meskipun dasar pengambilannya itu sama. Sesuai dengan pengertian  awal term fiqh itu sendiri yaitu pengetahuan dan pemahaman yang dalam dunia filsafat dikenal dengan istilah epistemologi (lihat, Dr. Aunur Rofiq, MA., Madzhab Yogya, Menggagas paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2002), hlm. 22. Ushul Fiqh dalam hubungannya dengan fiqh dapat dikatakan bahwa ushul fiqh merupakan sebuah epistemologi tersendiri bagi fiqh. Ungkapan seperti ini pernah disinyalir oleh Muhammad Arkoun. Ushul fiqh bagi fiqh memiliki kedudukan yang sangat dominan. Salah satunya adalah sebagai dasar – dasar kaidah yang harus diperhatkan dalam menentukan hukum dari suatu persoalan. Disamping itu ushul fiqh juga dianggap sebagai metodologi penetapan hukum. Perkembangan dan keluwesan hukum Islam sangat ditentukan oleh paradigma ushul fiqhnya. Selain kedudukan diatas, ushul fiqh juga dianggap sebagai epistemologi hukum Islam (ibid., hlm. 47)

[15] Sadr al-Syari’ah, Tanqih al-Ushul, (Makkah : Maktabah al-Baz, t.t) jilid II, hlm. 52

[16] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasyfa Fi Ilm al-ushul (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), jilid Ii, hlm. 54

[17] Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid II, hlm. 170

[18] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut : Dar al Fikr), 1986, hlm. 601

[19] Muhammad Abed al-jabiri, Bunyah …, op.cit., hlm. 141

[20] Mengikuti ini didasarkan pada persepsi saja, tidak pada keyakinan (tertentu) dan persepsi mujtahid dalam nahwu adalah keyakinan bahwa bahasa bagian dari ciptaan Allah. Dimana bahasa merupakan ketetapan langsung dari Allah atau dari hasil karya para hukama’ (ahli hikmah) yang telah diberi ilham oleh Allah. Karena hukum – hukum bahasa, seperti rafa’nya fa’il dan nashabnya maf’ul tida terlepas dari adanya hikmah yang dimaksud. Statemen ini sebagaimana yang dikatakan oleh al-Farghani / Ibn al-Siraj / al-Khalil ibn ahmad al-Farahidi. Oleh karena itu qiyas wajib ditinggalkan, apabila bertentangan dengan al-sama’ (sesuatu yang didengar dari orang Arab). Karena al-sama’ dianggap sebagai nash. Dan nash dalam epistemologi bayani merupakan dasar kuat yang harus diruju’

[21] Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah…, op.cit., hlm. 138.

[22] Ibid

[23] Ibid.

[24] Ibid.

[25] Ibid.

[26] Dari segi epistemologi, qiyas tidak berada dalam satu derajat, karena qiyas mempunyai beberapa macam dengan bertambah kuat dan lemahnya, tergantung al-jami’ yang menghubungkan far’ dengan ashl, ghaib dengan syahid dan al-maqis dengan muqis ‘alaih

[27] ashl adalah fa’il, far’ = naibul fa’il, illat = isnad, hukum = rafa’ untuk mengetahui masalah illat, ibn al-anbari mengatakan bahwa sahnya illat dapat diketahui dengan at-ta’tsir dan syahadat al-ushul. Ta’tsir adalah wujudnya hukum karena wujudnya illat dan hilangnya hukum karena hilangnya illat. Seperti dibacanya dlommah (tidak di tanwin) sebuah kata / mudlof karena terjadi idlofah. Sedangkan syahadat al-ushul adalah seperti yang menunjukkan bangunan bagaimana, dimana dan kapan.

[28] Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah …., op.cit, hlm. 156 – 157.

[29] Tajuddin Abdul Wahab al-subki, Jami’ul al-Jawami’ (Beirut : Dar al-Fikr, 1974) jilid II, hlm. 177, Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasya…, op.cit, hlm 56.

[30] Surat Umar ibn al-Khaththab kepada Abu Musa al-Asy’ari ini dibahas secara luas oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya A’alm al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, jilid II ketika ia membahas persoalan qiyas sebagai salah satu dalil atau metode dalam menetapkan hukum Islam