PERAWI DAN KRITIKUS HADITS

 

 

I.  TEKS HADITS

       

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Aswad, telah menceritakan kepadaku Israil dari A’masy, dari Abu Sholeh dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda : Ya Allah, sesungguhnya saya adalah manusia biasa, bilamana ada seorang muslim yang  kula’nati atau kusakiti maka jadikanlah untuknya zakat dan qurban. Abdullah berkata, bapakku berkata : aku telah menceritakannya kepada Ibnu Numair dia berkata : telah menceritakan kepadaku A’masy sesungguhnya Rasulullah bersabda : zakat dan rahmat[1].

 

II.  SKEMA SANAD HADITS

 

Adapun sanad hadits diatas terlampir

 

III. BIOGRAFI PARA PERAWI DAN PENILAIAN PARA KRITIKUS HADITS

 

A.    Abu Bakar al-Quthai’i

Nama lengkapnya adalah : Abu Bakar Ahmad Ibn Ja’far Ibn Hamdan Ibn Malik al-Quthai’i. Ada yang menyebut al-Qathbi.

 

Quthai’i berdomisili di Quthai’ah maka namanya di nisbatkan pada tempat tinggalnya (Quthai’ah). Dia pengikut madzhab Hanbali. Dia adalah salah seorang yang berjasa dalam transformasi verbal musnad Ahmad bin Hanbal. Kitab ini isinya berjumlah 40.000 buah hadits, 10.000 diantaranya berulang – ulang. Sekiranya musnad ini tetap tinggal sebanyak yang disusun Ahmad sendiri, maka tidak akan ada hadits yang tidak dapat dipakai sama sekali didalamnya, karena musnad ini telah ditambah – tambah isinya oleh putra beliau sendiri, Abd Allah, dan oleh Abu Bakar al-Qutahi’i, maka didalamnya terdapat sebagian besar hadits dlo’if dan empat buah hadits maudlu’. Dia meninggal pada bulan Dzul Hijjah tahun 368 H.

 

Dia meriwayatkan hadits dari Abu Abd al-Rahman Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal, sedangkan muridnya adalah Abu Ali yakni al-Hasan Ibn Ali Ibn Mahmud al-Tamimi al-Wa’izh, dan dikenal dengan Ibn Muhdzib[2].

 

B.    Abd Allah

Nama lengkapnya adalah : Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Asad al-Syaiban, ayah Abd al-Rahman al-Baghdadi.

 

Menurut Abu Ali al-Shawwaf, beliau lahir pada tahun 213 H dan wafat pada tahun 290 H. Sedangkan menurut Ismail Ibn Ali al-Khutabi, beliau wafat hari Ahad dan dimakamkan pada akhir petang, Jumadil al-Akhir, tahun 290 H.

 

Guru dan muridnya dalam periwayatan hadits :

Guru Abdulah antara lain :   Ibrahim Ibn Ismail Ibn Yahya ibn Salamah Ibn Kuhail, Ahmad Ibn Ibrahim al-Maushili, Ahmad Ibn Sa’id al-Darimi, Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal (ayahnya), Muhammad Ibn Shabah al-Daulaby, yahya Ibn Ma’in dll.

Murid Abdullah antara lain : Al-Nasa’i, Abu Bakar al-najad, Ahmad bin Kamil, Abu al-Qasim al-Baghawi, Abu al-Husain al- Munadi, Abu al-Qasim al-Thabrani, Abu Bakar al-Quthai’i, dll.

 

Penilaian para kritikus hadits tentang dirinya :

Abu Bakar al-Khatib menyatakan bahwa Abd Allah adalah seorang yang tsiqoh, handal dan cerdas. Bahkan menurut Abu Bakar al-Khalal, dia adalah termasuk laki – laki yang jujur perkataannya dan sangat pemalu. Demikian juga al-Nasa’i, menganggapnya tsiqoh. Diceritakan oleh Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Basyir, bahwa dia mendengar Abbas al-Duri berkata : suatu ketika saya berada disamping ayah Abd Allah (Ahmad Ibn Hanbal), kemudian masuklah Abd Allah, seraya Ahmad berkata kepadaku, Hai Abbas, sesungguhnya ayah Abd Rahma telah memuat dan menghafal ilmu banyak[3].

 

C.   Abi

Yang dimaksud dengan Abi disini adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani ayah Abdullah al-Marwazi. Beliau menuntut ilmu hadits tahun 179 H. Pada hari Jum’at tanggal 12 Robi’ al-awwal tahun 241 beliau meninggal dunia, demikian tandas ‘Abbas Ibn Muhammad al-Duri. Sedangkan menurut Ya’qub Ibn Sufyan, dari Fadhl Ibn Ziyad mengatakan bahwa Ahmad Ibn Hanbal wafat pada tanggal 12 Rabi’ al-akhir tahun 241 H.

 

Ibn Hanbal terkenal sangat gigih dalam mempertahankan aqidah dan berpegang teguh pada sunnah, sebagaimana diketahui pada masa al-Makmun memberlakukan ajaran Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara, namun Ahmad Ibn Hanbal dan sejumlah Muhadditsin lainnya menolak untuk menganutnya. Beliau ditangkap dan diboyong dari baghdad ke Tharsus dengan belenggu yang besar sebelum penyelidikan. Diceritakan pula bahwa Khalifah al-Ma’mun mengirim sejumlah uang untuk para ahli hadits. Sebagian mereka ada yang lemah dan menerima hadiah (suap) dari Khalifah itu. Tetapi Ahmad Ibn Hanbal menolak pemberian tersebut dan ttetap pada pendiriannya semula[4].

 

Diantara guru – gurunya adalah Ibrahim Ibn Khalid al-Shan’ani, Ishaq Ibn Yusuf al-Azrah, Husain Ibn al-Walid al-Naisaburi, Sufyan Ibn Uyainah, Jarir Ibn Abdul Hamid, Aswad ibn Amir Syadzan, dll.

 

 Murid – muridnya adalah Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Waki’, Abu al-Walid, Abd. Razzaq, yazid Ibn Harun, Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Hanbal, dll

 

Penilaian para kritikus hadits tentang dirinya :

Al-Syafi’i mengatakan bahwa saya telah keluar dari Baghdad dan tidak meninggalkan orang yang lebih pandai, Zuhud, lebih wira’i disana kecuali Ahmad Ibn Hanbal. Bahkan Qutaibah bin Sa’id menganggap Imam Ahmad sebagai Imam al-Dun’ya. Muhammad Ibn Ishaq menceritakan apa yang dikatakan oleh ayahnya, bahkan andaikata tidak ada Ahmad Ibn Hanbal dengan segala pengorbanannya, niscaya Islam akan lenyap di muka bumi.

 

Al- Jili menegaskan bahwa imam Ahmad adalah seorang yang tsiqoh dan handal dalam hadits, bersih jiwanya, sangat pandai dalam masalah hadits dan pengikut setia sunnah. Ibn Hibban dalam kitab :al-Tsiqot” sebagaimana yang dikutip al-Tsaqalani, mengatakan bahwa Ahmad Ibn Hanbal adalah seorang yang hafal hadits (hafidz), terpercaya, faqih, selalu menetapi sifat wara’, kontinu dalam beribadah dan kukuh memegang sunnah ketika terjadi al-Mihnah dizaman Abbasiyah Khalifah al-Makmun. Ibn Sa’d juga menyatakan bahwa beliau adalah seorang  yang tsiqoh, handal dan terpercaya, yang banyak haditsnya[5].

 

D.   Aswad

Nama lengkapnya Aswad Ibn Amir Syadzan Abu ‘Abdurrahman Asy-Syami. Menurut Ibn Sa’ad beliau meninggal tahun 208 H.

 

Guru – gurunya antara lain :  Israil ibn Yunus, Hammad ibn Salamah, Hammad ibn Zaid, Ayyub ibn ‘Utbah al-Yamamy, Ja’far ibn Ziyad al-Ahmar, Abu Bakar ibn ‘Ayyasy, dll

 

Murid – muridnya antara lain :  Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madiny, Abu Tsaur, Amer An-Naqid, Abu Karib Ad-Darimi, harits bin Abi Usamah dll.

 

Penilaian para kritikus hadits :

Hanbal ibn Ishaq berkata : saya mendengar bapaknya Abdullah berkata : Aswad ibn Amir tsiqoh. Kemudian saya bertanya : tsiqoh ? dan dia menjawab : lebih.

 

Ibnu Ma’in menyatakan bahwa Aswad adalah seorang yang tidak cacat dan Ibnu Al-Madiny juga menyatakan bahwa dia adalah orang yang tsiqoh, bahkan menurut Abu hatim, dia adalah orang yang jujur (lagi) sholeh[6].

 

Dari penilaian para kritikus hadits diatas, jelas tidak ada seorangpun yang mencela Aswad. Dengan demikian pernyataannya yang menyatakan bahwa dia telah menerima hadits dari Israil dapat dipercaya. Itu berarti sanadnya bersambung (muttasil)

 

E.    Israil

Nama lengkapnya adalah Israil bin Yunus bin Abi Ishaq As-Sabi’iyah Hamdany, Abu Yusuf Al-Kufi. Menurut Dabis bin Hamid dia lahir tahun 100 H dan meninggal tahun 161 H. Menurut Ibn Na’im dan lainnya dia meninggal tahun 160 H. Sedangkan menurut Khalifah dan Ibn Sa’ad dia meninggal tahun 162 H.

 

Guru dan Muridnya :

Guru – gurunya antara lain : Kakeknya dan Ziyad bin ‘Alaqah, Zaid bin Jubair, ‘Ashim bin Bandalah A’masy, ismail As-Sady, Hisyam bin ‘Urwah, Yusuf bin Abi Burdah.

 

Murid – muridnya antara lain : Aswad ibn Syadzan, Ahmad ibn Abdullah ibn Yunus, Adam ibn Abi Iyas, Hammad ibn Waqid, dll.

 

Penilaian para kritikus hadits :

Ibnu Muhdi berkata, dari Isa bin Yunus berkata : bagiku Israil adalah orang yang lebih hafal hadits Abu Ishaq sebagaimana hafal surat dari Al-Qur'an. Harb berkata dari Ahmad bin Hanbal : Israil adalah syaikh yang tsiqoh dan mengagumkan hafalannya. Abu Thalib berkata : saya bertanya kepada Ahmad, manakah yang lebih teguh (hati dan lidahnya) Syarik atau Israil ? Ahmad menjawab : Israil, dia lebih teguh (hati dan lidahnya) daripada Syarik. Saya bertanya : siapakah yang lebih kamu sukai ? Yunus atau Israil dalam Abu Ishaq ? Ahmad menjawab : Israil karena dia sahabat kitab. Abu Hatim  berkata : orang yang tsiqoh lagi jujur (                       ). Ya’qub bin Syaibah berkata : orang yang baik haditsnya. Abu Dawud berkata : israil lebih shahih haditsnya daripada Syarik. Nasa’i berkata :  tidak ada cacat baginya. Ibnu al-Barra’ menceritakan dari Ali bin al-Madiny bahwa israil adalah orang yang lemah[7]. Menurut al-Ijly, Israil adalah orang Kufah yang tsiqoh.

 

Para kritikus hadits kebanyakan memuji Israil hanya ada satu riwayat yang diceritakan oleh Ibnu al-Barra dari Ali bin al-Madiny yang menyatakan bahwa Israil adalah orang yang lemah.

 

F.    A’masy

Nama lengkapnya = Sulaiman binMahram al-Asadi al-kahili, Abu Muhammad al-Kufi al-A’masy. Beliau wafat tahun 147 H.

 

Guru dan muridnya dalam periwayatan hadits :

Guru al-A’masy antara lain : Ibrahim al-Tahimi, Ibrahim al-Nakha’i, ismail bin Abi Khalid, Dzakwan bin Abi Sholeh As-Samman.

 

Murid al-A’masy antara lain : Israil ibn Yunus, Ismail ibn Zakariyya, Jarir ibn Abdul Hamid, Jarir ibn Hazim, Zaidah ibn Qudamah, Sufyan al-Tsauri, Sufyan ibn Uyainah, dll.

 

 

Pernyataan para kritikus hadits tentang dirinya :

·       Yahya bin Ma’in :   Sewaktu al-A’masy meriwayatkan hadits dari Anas termasuk

                             hadits mursal

·       Ibnu Amar            :  Tidak ada shli hadits yang lebih ditetapkan haditsnya dari pada

                             A’masy

·       Al-Ajadi                :  A’masy adalah orang yang teguh (lagi) tsiqoh di dalam hadits.

·       Ibn Ma’in              : Dia tsiqoh.

·       Al-Nasa’i               :  Dia adalah orang yang teguh (lagi) tsiqoh[8]

 

Jika diperhatikan hampir seluruh kritikus hadits memuji pribadi A’Masy, hanya saja hadits A’Masy yang diriwayatkan dari Anas termasuk hadits mursal (menurut Ibn Ma’in). Akan tetapi hadits yang diriwayatkan A’Mazy disini bukan dari Anas, melainkan dari Abi Sholeh. Dengan demikian maka pernyataan A’Masy bahwa ia menerima hadits dari Abu Sholeh al-Samman dengan lamban ‘An dapat dipercaya kebenarannya. Dengan mempertimbangkan alasan diatas maka sanad antara A’Masy dan Abu Sholeh al-Samman bersambung (muttasil).

 

G.    A’bu Sholeh (Wafat 101 H)

Nama lengkapnya adalah : Dzakwan, Abu Sholeh al-Smamman al-Zayyat al Madany.

 

Guru dan muridnya dalam periwayatan hadits :

Guru Abu Sholeh antara lain :    Abu Hurairah, Abi Darda’, Abi Sa’id al-Khudri, Jabir, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mu’awiyah, Aisyah, ummu Habibah, dll.

 

Murid – muridnya antara lain :   anaknya Suhail, Sholeh, Abdullah, A’Masy, Raja’ bin Hayah, Zaid bin Aslam, Abu Hazim Salamah bin Dinar, dll.

 

Penilaian para kritikus hadits :

Abdullah bin Ahmad dari bapaknya berkata : Dia tsiqoh, tsiqoh dari semua manusia dan lebih tsiqoh. Ibnu Ma’in juga mengatakan bahwa dia tsiqoh, begitu juga Abu Hatim menyatakan bahwa dia tsiqoh, Sholehul hadits, dan periwayatan haditsnya selalu diharapkan. Abu Zur’ah menilainya : tsiqoh, lurus haditsnya. Ibn Sa’ad juga mengatakan bahwa dia tsiqoh dan banyak haditsnya. Abu Dawud  berkata saya bertanya kepada Ibn Ma’in : siapakah orang yang tsiqoh dalam Abu Hurairah ? dia menjawab Ibn al-Musayyab, Abu Sholeh, Ibn Sirrin, A’raj, Abu Rafi’. Al-Sajiy menyatakan bahwa Abu Sholeh adalah tsiqoh lagi jujur.

 

Dari penilaian para kritikus hadits diatas, nampak bahwa semuanya memuji kepribadian Abu Sholeh bahkan ada yang menyatakan bahwa Abu Sholeh adalah orang yang tsiqoh, dan bahkan lebih tsiqoh. Dengan demikian maka Abu Sholeh dari Abu Hurairah dengan lambang ‘An dapat dipercaya kebenarannya.

 

H.   Abu Hurairah

Namanya dan ayahnya banyak di perselisihkan di kalangan ulama. Ada yang mengatakan namanya adalah Abd. Al-Rahman ibn Sahkhir, Abd al- Rahman ibn Ghanam, Abd Allah ibn ‘A’idz, Abd Allah ibn ‘Amir, Abd Allah Ibn ‘Amir, Sukain ibn Wadzamah, Sukain ibn Hani’ dll. Namun ia terkenal dengan Abd al-Rahman ibn Shakhir.

 

Menurut Sufyan ibn ‘Uyainah, Abu Hasan al-Madaini dan lainnya, Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H. Sedangkan menurut al-Waqidi, Abu Ubaid dan Ibn Numair, beliau wafat tahun 59 H. Diceritakan, mengapa beliau diberi kuniyah Abu Hurairah, karena dia selalu membawa kucing kecil di gamisnya. Dia masuk Islam pada tahun 7 H.

 

Guru dan muridnya dalam periwayatan hadits :

Guru Abu Hurairah antara lain : Nabi Muhammad saw., Abu Bakar al-Shiddiq, Umar ibn Khattab, Ubay ibn Ka’ab, Usamah ibn Zaid, Aisyah, dll.

 

Murid – muridnya antara lain    :  Abu Sholeh al-Samman, Ibn Abbas, Ibn Umar, Anas, Jabir, Said ibn Musayyab, Abu Sholeh al-Hanafi, abu ‘alqamah, Abu Hasyim al-Dausy, Abd. Al-Hamid ibn Salim, dll.

 

Penilaian para kritikus hadits tentang dirinya :

Diceritakan oleh al-Zuhri bahwa Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal setiap hadits yang diriwayatkan di zamannya. Waki’ berkata : Telah menceritakan kepadaku A’masy dari Abu Sholeh, berkata : Abu Hurairah adalah sahabat Nabi yang paling hafal (hadits).

 

Mengeluarkan ibn Abi Khaitsamah dari Sa’id ibn Abi al-Hasan berkata : tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi yang lebih banyak haditsnya dari Abu Hurairah. Al-Syafi’i berkata : Abu Hurairah adalah perawi hadits yang paling hafal di zamannya[9].

 

IV.           KESIMPULAN

 

Setelah meneliti rangkaian hadits diatas, maka tampak jelas bahwa semua perawi yang meriwayatkan hadits tersebut dari segi kemuttashilannya, tergolong muttashil sanad. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan para rawi sebagai guru dan murid, dan dilihat dari meninggalnya para rawi yang tidak terlalu jauh selisihnya sehingga secara historis, dapat dipastikan adanya pertemuan. Dan juga karena penilaian para kritikus hadits terhadap para perawi tersebut, masing – masing periwayat pada setiap tngkatan bisa dinyatakan tsiqoh. Karena hampir semua kritikus memuji perawi – perawi tersebut, meskipun ada perawi yang oleh ibn al-Barra dari Ali ibn al-Madiny dinyatakan sebagai orang yang lemah yaitu Israil. Akan tetapi menurut hemat penulis pendapat tersebut tidak kuat karena disitu (pendapat para kritikus terhadap Israil) terdapat Abu Hatim termasuk orang yang bersikap ketat (tasyaddud)[10].

 

Syhudi Ismail dalam bukunya Kaedah Kesalehan sanad Hadits, mengatakan : “apabila kritikus yang bersikap tasyaddud menilai seorang periwayat tertentu berkualitas dla’if tanpa keterangan sebab – sebab kedhaifannya, sedang kritikus yang bersikap tawassuth menyatakan tsiqoh, maka periwayat yang bersangkutan masih dapat dinilai sebagai berkualitas tsiqoh”. Sedangkan Abu Hatim disini menyatakan bahwa Israil adalah tsiqoh. Dengan demikian berarti Israil adalah tsiqoh.

 

Berdasarkan hal tersbut diatas maka hadits yang penulis teliti ini dapat disimpulkan bahwa dari segi sanad, hadits tersebut dapat dikatakan shahih, dengan alasan karena hadits tersebut diriwayatkan oleh rawi – rawi yang tsiqoh dan bersambung hingga Nabi Muhammad saw.



[1] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Imam Ibn Hanbal, Dar al-Fikr, Beirut, 1978, Juz II, hlm. 390

[2] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ibn Hanbal (Musnad Abi Bakar al-shiddiq), Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1993, Juz I, hlm. 3; Abu al-Hajjaj Yusuf Ibn al-Zaki al-Mizzi, Tahdzib al-kanal, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, Juz X, hlm. 13; TM. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999, hlm. 91.

[3] Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al- Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1994, Juz V, hlm. 126 – 128, Al-Mizzi, op.cit, hlm. 11 - 15

[4] Muhammad Mustafa, MA., Ph.D, Metodologi Kritik hadits, terj. Drs. A. Yamin, Pustaka Hidayah, Bandung, 1992, hlm. 135 – 137, Al-Mizzi, op.cit., Juz I, hlm. 226, 245, 250, Al-Tsaqalani, op.cit., hlm. 66 – 68.

[5] Al-‘Asqalani, op.cit., Juz I, hlm. 66 – 68; al-Mizzi, op.cit, Juz I hlm. 226 – 231, 238

[6] Al – ‘Asqalani,  op.cit., Juz I, hlm. 307 – 308, Al-Mizzi, op.cit., Juz II, hlm. 246 - 248

[7] Al – ‘Asqalani, op.cit., Juz I, hlm. 237 – 239; bandingkan dengan Al-Mizzi, op.cit., Juz II, hlm. 100 - 106

[8] Abu al-Hajjaj Yusuf Ibn al-Zakki Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, Dar al-Fikr, beirut, 1994, Juz 8, hlm. 106

[9] Al-‘Asqalani, op.cit., Juz XII, hlm. 273 – 240; Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Ishabah Fi Tamyiz al-Shahabah, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Bedirut, Lebanon, Juz VII, hlm. 348 – 355.

[10] Kritikus periwayat hadits yang bersikap ketat (tasyadud) misalnya Yahya bin Ma’in, Abu Hatim al-Razy dan al-Jawzujaniy; Kritikus yang bersikap longgal (tasahul) misalnya Abu Isa al-Turmudzi, al-Hakim al-Naysaburiy, ibn Hibban al-Bustiy dan al-Bayhaqiy; dan kritikus yang bersikap antara ketat dan longgar (tawassuth) misalnya ‘Amir al-Sya’by dan Muhammad bin Sirrin (Syuhudi Ismail, Kaedah Kesalahan sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hlm. 206).