THE HISTORY OF ISLAMIC LAW

HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

(Sebuah Resume)

 

 

PENDAHULUAN

Bukan saja bagi pengamat luar, dikalangan umat Islam sendiri sementara orang mempertanyakan kontradiksi antara syari’at sebagai kehendak Tuhan yang transenden dengan kenyataannya sebagai aturan hukum yang sering bukan saja berubah - ubah, tetapi juga berbeda - beda dan bertentangan. Pada yang pertama : syari’at diidealkan sebagai ketentuan yang pasti, satu dan mutlak, tak bisa berubah dan berbeda - beda, apalagi saling berlawanan. Anjuran yang termaktub dalam nash Al-Qur'an dan hadits merupakan konsep final yang harus diberlakukan apa adanya dalam semua keadaan. Sangat berlawanan tentunya, bila pendapat tersebut dilihat melalui praktek hukum yang berlaku dalam masyarakat Islam, yang misalnya tidak adanya keseragaman aturan hukum dan perundang - undangan yang dianut oleh setiap negara yang menyatakan sebagai negara Islam. Bahkan diantara ulama dan madzhab - madzhab tidak luput adanya silang pendapat yang bukan hanya berbeda, tetapi juga saling berlawanan. Secara sepintas pandangan pertama menampilkan wajah kekakuan, sementara yang kedua menunjukkan ketidak pastian, yang keduanya tak sesuai dengan watak dasar hukum sebagai norma dan aturan yang hidup dalam suatu masyarakat.

Benarkah demikian kenyataan hukum Islam yang telah hidup sejak abad ketujuh Masehi  itu. Kenyataan itu bisa dijelaskan dari dua segi. Pertama melalui legal theori atau Ushul Fiqh yang akan terungkap bagaimana hukum ditetapkan berdasarkan dalil yang diambil dari sumbernya (Al-Qur'an dan Hadits) oleh para mujtahid seperti telah banyak dikaji oleh para ulama dan sarjana Islam. Kedua, dari kenyataan sosio historis bahwa hukum Islam tanpa kehilangan esensi dan identitasnya merupakan aturan dan perundang - undangan yang berlaku dan dianut oleh masyarakat Islam sejak lama. Dalam bentangan waktu kesejarahan yang panjang, menembus batas - batas ras, suku bangsa, geografi dan sosial budaya itu semakin teruji sifat dan watak hukum Islam. Jika secara legal theori perbedaan dan perselisihan pendapat dalam hukum Islam itu absah, maka secara sosio historis hal itu telah membuktikan keluwesan dan keluasannya.

Aspek kedua inilah yang diungkap oleh Noel J. Couson dalam buku ini yaitu penekanan analisa sosiologis historis terhadap dinamika dan dialektika hukum dalam interaksinya dengan kenyataan sosial, budaya dan politik yang dihadapi. Noel J. Coulson membagi tiga bagian dalam bukunya

Bagian I.   Terbentuknya hukum syari’at

Bagian II   Pemikiran dan praktek hukum Islam di abad pertengahan

 

BAGIAN KESATU

TERBENTUKNYA HUKUM SYARI’AT

 

Sebelum Islam datang, bentuk kesatuan masyarakat Arab ialah kabilah (suku) yaitu kelompok keluarga yang mengaku mempunyai nenek moyang yang sama. Kesetiaan anggota diberikan kepada kabilah secara keseluruhan. Dan kabilah mempunyai kekuasaan penuh untuk menetapkan standar pola hidup anggotanya. Kabilah tidak dipahami sebagai kelompok yang mewakili masa kini belaka, melainkan sebagai suatu kesatuan yang  merangkul generasi masa lampau, masa kini dan masa datang.

Mekkah tempat kelahiran Nabi Muhammad yang menjadi pusat perdagangan, telah mempunyai hukum adat meski sederhana, sedang Madinah adalah daerah pertanian yang telah mengenal bentuk awal dari penguasaan atas tanah. Bahkan di Mekkah saat itu telah muncul dasar - dasar dari siistem pengurusan hukum. Telah ada penunjukan juru pisah - juru pisah guna menangani soal ganti rugi dalam kasus pembunuhan atau penganiayaan. Satu hal yang sama di kedua kota tersebut adalah bahwa hukum yang dipakai adalah praktek hukum yang sudah berjalan mapan.

Kemudian nabi Muhammad datang dan membawa pesan - pesan keagamaan, namun peraturan - peraturan yang terdapat dalam Al-Qur'an pada hakekatnya hanyalah mengadakan perubahan terhadap hal - hal tertentu dari hukum adat yang ada dan bukan menggantikan keseluruhannya. Dengan demikian titik tekan Al-Qur'an bukanlah menghapus sama sekali sistem lama, melainkan hanya mengadakan perubahan terhadapnya, sebagaimana kasus pembagian harta waris.

Pada tahun 661 M, Muawiyah dinobatkan sebagai khalifah sebagai awal didirikannya dinasti Umayyah. Dari pusat pemerintahan mereka yang baru di Damaskus, para pembangun kerjaan menjalankan roda kekuasaan dengan mengatas namakan Islam. Damaskus menjadi pusat organisasi yang mengurus daerah - daerah taklukan beserta penduduknya, sedang kekuatan Arab yang menduduki tidak kurang dari penduduk asli. Kenyataan ini melahirkan pengembangan hukum yang meliputi banyak aspek dan berdimensi luas. Kebijaksanaan mendasar yang dijalankan dinasti Umayyah ialah didesak oleh kebutuhan menjaga struktur administratif yang ada di propinsi - propinsi. Sudah barang tentu mereka menyerap dan menerima konsep - konsep serta bentuk - bentuk kelembagaan yang asalnya dari luar sehingga hukum Islam yang selama periode Madinah dipegang kuat, kini dilepas untuk akhirnya hilang. Dan sejalan dengan semakin luasnya kegiatan pemerintahan, citra hukum Al-Qur'an semakin memudar.

Dalam sejarah, terdapat banyak masyarakat yang menjadi subyek perubahan cepat semacam ini, tapi belum siap menghadapinya sebagaimana masyarakat Arab yang muslim. Adalah keberhasilan yang tidak dapat dipungkiri bahwa di jaman Umayyah telah dicapai sintesa antar berbagai pengaruh yang ada dalam praktek hukum. Karena dipaksa oleh keadaan muncul pola berpikir sistematis. Dan cara pemecahan masalah didasarkan atas tuntutan kelayakan. Pemerintahan Umayyah bukan menciptakan ilmu hukum, melainkan membangun sistem pengurusan hukum yang prkatis. Dan untuk ini mereka berhasil.

Pada abad ke 2 H yang dimulai pada tahun 720 M, umat Islam kejangkitan gejala suka mengkritik segala hal, cenderung menilai setiap kehilangan secara berlebihan, sedang persoalan yang didapat mereka sepelekan. Secara politis cara menilai seperti ini melahirkan gelombang permusuhan terhadap pemerintah. Dinasti Umayyah yang berambisi menguasai dunia dikecam karena dianggap menyimpang jauh dari prinsip - prinsip agama. Dalam kaitannya dengan bidang hukum, orang - orang menyimpulkan bahwa kekuasaan peradilan pemerintahan Umayyah telah gagal dalam menjabarkan semangat hukum Islam (Al-Qur'an). Kaum ulama yang saleh mulai mengemukakan konsep - konsep mereka tentang patokan tingkah laku yang mencerminkan keseluruhan etika Islam. Diujung akhir pemerintahan Umayyah, ulama tersebut mengelompok menjadi beberapa kelompok madzhab. Itulah madzhab - madzhab hukum yang pertama dalam Islam.

Pada akhirnya dinasti Umayah tumbang dan digantikan oleh dinasti Abbas. Itu terjadi pada tahun 750 M. Maka bertemu dan bergabunglah dua aliran kritik anti Umayyah. Kaum ulama berdiri didepan sebagai perancang pola negara dan masyarakat dan pemerintah Abbasiyah berjanji akan melaksanakan ini. Pendekatan hukum mereka bersifat sangat religius dan idealistik, dikarenakan terangsang oleh cita - cita Abbasiyah yang hendak menjujung nilai - nilai Islam.

Madzhab - madzhab hukum yang bermunculan di propinsi - propinsi Islam yang terpenting dan sanggup bertahan lama ialah madzhab Madinah dan Kufah. Ditinjau dari runtut waktu, pemikiran hukum Kufah umumnya lebih dini ketimbang di Madinah. Ini disebabkan madzhab Kufah dalam beberapa hal secara resmi disponsori oleh pemerintahan pusat Abbasiyah.

Kendat demikian keduanya mempunyai metoda dan garis perkembangan yang sama, yaitu meninjau praktek hukum dan politik setempat, dari teropong kaedah tingkah laku dalam Al-Qur'an. Itulah titik tolak pendekatan mereka. Semua lembaga beserta aktifitasnya dikaji, lalu diterma atau ditolak. Dasar penerimaan atau penolakan ialah sejauh mana ia memenuhi kaedah Al-Qur'an.

Pada perkembangan metode yurisprudensi, timbul dua kecenderungan di awal pemerintahan Abbasiyah. Pertama dalam rangka memantapkan dan memadukan doktrin hukum, pemkiran menjadi sistematis dan keberada’an ra’yu melahirkan metode deduksi -logis yang disebut qiyas. Kemudian terjadi pengembangan dari metode qiyas menjadi istihsan (menganggap baik). Kecenderungan kedua ialah makin di perkokohkannya konsep sunnah. Orang cenderung untuk mengklaim generasi pendahulu sebagai sumber dalam mengokohkan suatu tradisi.

Pada tahun 7677 M, lahirlah As-Syafi’I yang oleh ilmu hukum Islam diakui sebagai Bapak Yurisprudensi Hukum Islam. Suatu julukan yang cukup pantas. Namun begitu kebesaran As-Syafi’I tidak terletak dalam pengenalan konsep yang seratus persen baru, melainkan dalam pemberian orientasi baru, penekanan baru dan perimbangan baru terhadap ide - ide yang sudah ada serta merangkumnya semua dalam satu skema akar - akar (dasar - dasar) hukum sistematik. As-Syafi’i berusaha menghalau proses disintegratif (yang menciptakan keberagaman dan memecah belah) dari sistem yurisprudensi yang berkembang saat itu dengan teorinya mengangkat dan meningkatkan otoritas hukum. Unsur - unsur lokalitas dan kondisonal yang terdapat di sistem hukum madzhab - madzhab pertama digantikan dengan konsep - konsep yang berlaku dan diterapkan secara universal. Skema hukum yang diajukan As-Syafi’i merupakan penggabungan antara wahyu Tuhan dan penalaran manusia di bidang hukum. Dengan demikian, ia juga berusaha untuk mengkompromikan antara kubu penganut hadits (ahl al-Hadits) dan kubu penganut pendapat pribadi (ahl ar-ra’y) yang saling bertentangan.

Menjelang tahun 900, umat Islam berhasil membangun suatu yurisprudensi yang secara keseluruhan menyerap pengajaran sang guru (As-Syafi’i) dalam bentuk yang umumnya dapat diterima. Ciri mencolok dari periode ini ialah tumbuhnya ilmu hadits sebagai disiplin tersendiri, dengan buku tersendiri pula.

Teori hukum As-Syafi’i berhasil mengadakan kompromi antara ungkapan kehendak Tuhan (wahyu) dan penggunaan akal dalam hukum. Akan tetapi harapannya bahwa penyelesaian ini dapat menghilangkan persengketaan yang ada sekaligus memperkenalkan keseragaman dalam yurisprudensi telah gagal. Nyatanya berbagai reaksi terhadap tesisnya tentang otoritas hadits telah melahirkan terbentuknya 3 madzhab lain, sebagai tambahan bagi madzhab - madzhab yang sudah ada dimasanya.

Orang - orang yang siap menerima doktrin as-Syafi’i perihal peranan hadits jumlahnya sedikit. Dan karena itu, meski kemungkinan ini disangkal sendiri oleh as-Syafi’i, lahirlah madzhab Syafi’i. Madzhab berada ditengah - tengah antara kelompok yang bersikap longgar terhadap hadits disatu pihak dan kelompok yang menyokong hadits demikian antusias lagi ekstrim dilain pihak. Dari kelompok yang terakhir ini terlahir dua madzhab. Dasar pijakan mereka terletak pada penolakan terhadap fungsi akal, dalam bentuk apapun sebagai sumber hukum, juga pada keteguhan mereka bahwa setiap aturan hukum hanya mendapatkan otoritas dari wahyu Allah atau praktek nabi.

1.     Ahmad bin Hanbal (w. th. 855) (yang konon tak pernah memakan buah semangka lantaran tidak terdapat dalam ajaran nabi cara memakannya), mendirikan madzhab Hanbali.

2.     Daud Ibn Khalaf (w. 883), yang bereaksi keras terhadap semakin rumitnya pemikiran hukum, mengemukakan suatu prinsip bahwa hukum harus cuma didasarkan pada makna tekstual yang terang (dhahir) dari teks Al-Qur'an dan hadits. Pengikut Daud ini dikenal dengan sebutan madzhab Zhahiri.

Pada akhir abad IX, kebebasan berpikir dalam hukum yang telah mengalir cepat pada tahap - tahap pertama, lama - lama berhenti dan tibalah pada titik kemandegan (stagnasi).

 

BAGIAN KEDUA

PEMIKIRAN DAN PRAKTEK HUKUM ISLAM

DIABAD PERTENGAHAN

 

Perkembangan hukum Islam pada masa pertengahan dapat dinilai sejauh mana perbedaan antara praktek hukum yang aktual dengan doktrin klasik yang terdapat dalam kitab - kitab syari’ah. Di bidang hukum keluarga, dikotomi antara doktrin (syari’ah) dan praktek jelas batasannya. Sebab hukum keluarga dianggap pokok lagi istimewa serta merupakan bagian integral dari skema kewajiban agama. Dalam hal ini, doktrin klasik dari para ahli (ulama) Arab tetap tak dilangar, sebagai doktrin yang mengemukakan patokan tingkah laku yang sahih dimata Tuhan. Dan penyimpangan dari norma - norma ini seperti yang ditolerir oleh praktek hukum di daerah - daerah tertentu tidak pernah diakui sebagai ungkapan hukum Tuhan yang sahih.

Akan tetapi di bidang hukum lainnya, tidak ada garis tegas semacam itu yang dapat ditarik guna memisahkan doktrin dari praktek. Doktrin siyasah syar’iyyah mengakui bahwa dalam bidang hukum publik khususnya pidana, kepentingan politik hukum menghendaki adanya tambahan yurisdksi diluar yurisdiksi peradilan syaria’h. Sementara itu kekuatan - kekuatan dalam masyarakat Islam telah mengakibatkan modifikasi yang cukup besar terhadap doktrin klasik di bidang hukum transaksi sipil. Dalam kedua hal ini, yang terutama bertanggung jawab atas adanya sintesis antara doktrin dan praktek adalah para mufti. Sebab ternyata mereka tidak hanya akrab dengan hukum perdata lewat fatwa mereka, melainkan juga bertindak sebagai penasehat bagi aktifitas peradilan madhalim* .

Mengingat perkembangan ini, doktrin klasik pun mulai masuk dalam perspektif historis sebagai satu babakan sejarah dalam evolusi hukum Islam. Teks - teks klasik syari’ah diberikan penghargaan tertinggi sebagai gambaran cita - cita murni agama. Itulah sebabnya mengapa doktrin syari’ah selalu bersikap enggan dalam memberikan kelonggaran terhadap praktek. Akan tetapi dari sudut pandang realistis, doktrin klasik tak pernah menjadi ungkapan hukum Islam yang lengkap atau punya kewenangan yang eksklusif.

 

BAGIAN KETIGA

HUKUM ISLAM DIMASA MODERN

 

Semenjak abad ke 19 tumbuh kontak yang semakin akarab antara peradaban Islam dan peradaban Barat. Selanjutnya perkembangan hukum kebanyakan ditentukan oleh pengaruh - pengaruh baru yang kemudian mendikte Islam.

Ada dua ciri pokok aktifitas hukum modernis yang menarik perhatian. Pertama, dewasa ini hukum dalam praktek diwarnai oleh perbedaan - perbedaan yang mencolok yang menggambarkan keberagaman posisi perimbangan - perimbangan untuk melayani tarik menarik antara dua faktor dasar, yakni tuntuttan - tuntutan praktis dan keharusan melaksanakan prinsip - prinsip agama. Sejak dimulainya pembaharuan hukum, dua faktor ini telah melahirkan dua kutub pemisahan yang tegas, yaitu bahwa undang - undang  hukum Barat secara langsung diambil (dipraktekkan) di bidang hukum pidana dan perdata pada umumnya, sedang doktrin syari’ah tradisional terus mengatur bidang hukum perorangan. Namun dewasa ini ada kecenderungan untuk mencairkan pemisahan ini.

Dalam hukum perdata, prinsip - prinsip agama mulai memberikan warna. Penggabungan antara unsur - unsur luar dan unsur - unsur Islami merupakan ciri mencolok dari Undang Undang Hukum Pedata Irak tahun 1953. Banyak aturannya yang berasal dari kodifikasi hukum Hanafi, majallah dan dari teks - teks syari’ah tradisional, sementara ketentuan - ketentuan lain, seperti ketentuan - ketentuan tentang asuransi dan bidang spekulasi sepenuhnya berdasarkan hukum Eropa. Hukum keluarga makin dipengaruhi oleh kaedah - kaedah dan nilai - nilai Barat. Dan disinilah dasar dari hukum keluarga ini, bila dipandang sebagai suatu kesatuan, nampak sangat kompleks. Sebab ketika ia dikodifikasikan dalam bentuk Undang - Undang modern, hukum ini merupakan campuran antara unsur - unsur tradisional dan unsur - unsur baru. Sedangkan unsur - unsur baru ini kadangkala merupakan hasil olahan prinsip - prinsip mapan, atau hasil suatu penafsiran baru terhadap nash atau pula kadang merupakan santunan kepada kebutuhan - kebutuhan waktu.

Ciri kedua hukum Islam modern berkenaan dengan cita - cita pengembangan di masa depan ialah kenyataan bahwa banyak pembaharuan hukum materiil bisa dipastikan hanyalah merupakan alat sementara dan sebagai penyesuaian bertahap. Ini bukan dimaksud untuk memungkiri hasil nyata dan gerakan pembaruan dalam memecahkan masalah - masalah yang timbul, tetapi ketentuan - ketentuan tertentu. Dalam beberapa kasus, ketentuan - ketentuan baru tampaknya tak akur dengan hukum tradisional.

Barangkali hal ini tak dapat dihindarkan sebab tampaknya apa yang dihadapi Islam selama ini dapat dikatakan tak beda dengan yang dihadapinya selama masa pemerintahan Umayyah. Sebagaimana halnya hukum Islam di masa Madinah, yaitu awal dari praktek adat yang dimodifikasi oleh ajaran - ajaran dasar Al-Qur'an ternyata secara keseluruhan tidaklah akur dengan sebuah bentuk kerajaan, demikian pula kini hukum syari’ah tradisional tampak kepayahan dibawah pengaruh Barat. Dan para pembaru modern, seperti halnya para administrator pemerintah Umayyah, melakukan pengawasan (kontrol) terhadap kasus - kasus mendesak melalui ukuran - ukuran ad hoc yang pragmatis dan kegunaan sesaat.

Menurut kaum modernis syari’ah bisa disesuaikan dengan kebutuhan guna menopang perubahan sosial dan kemajuan masyarakat di era modern. Peningkatan mobilitas hukum merupakan kecenderungan moderniktas. Karena ukuran penyesuaian dari hukum tradisional ditentukan oleh aneka reaksi yang muncul diberbagai tempat, maka semakin bertambahlah keanekaan praktek hukum dalam dunia muslim, sebuah akibat yang tak terhindarkan dari tindakan penyesuaian.

 

PENUTUP 

·       Peraturan – peraturan yang terdapat dalam Al-Qur’an pada hakekatnya hanyalah mengadakan perubahan terhadap hal – hal tertentu dari hukum adat yang ada dan bukannya menggantikan keseluruhannya.

·       Ada perbedaan fundamental antara filsafat hukum Islam modern dan sistem hukum klasik. Menurut pemikiran klasik, ketentuan hukum datang dari atas yang berlaku sah selamanya dan memiliki standar - standar yang harus menjadi ukuran keseragaman buat struktur setiap negara dan masyarakat. Sedangkan menurut kaum modernis, hukum terbentuk guna memenuhi kebutuhan masyarakat, artinya fungsi hukum ialah memberikan jawaban terhadap problematika sosial.



* Madhalim = harfiah keluhan. Hak yurisdiksi prerogatif yang dimiliki penguasa politik atau delegasinya.